MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN
Pendahuluan
Dewasa
ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan
yang sangat pesat menuju kepada perkembangan keperawatan sebagai
profesi. Proses ini merupakan suatu proses berubah yang sangat mendasar
dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek
pelayanan/asuhan keperawatan, aspek pendidikan, pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kehidupan keprofesian
dalam keperawatan.
Perkembangan keperawatan menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi dipengaruhi
oleh berbagai perubahan yang cepat sebagai akibat tekanan globalisasi
yang juga menyentuh perkembangan keperawatan profesional termasuk
tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan yang
pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan
profesional di Indonesia (Ma’rifin Husin, 2002). Disamping itu dipicu oleh adanya Undang-Undang No.23 tahun1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan yang semakin meningkat sebagai
akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik termasuk latas belakang
pendidikan yang semakin tinggi yang berdampak pada tututan pelayanan
keperawatan yang semakin berkualitas.
Jaminan
pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari
tenaga keperawatan yang profesional, karena dalam konsep profesi terkait
erat tiga nilai sosial, yaitu : a) Pengetahuan yang mendalam dan
sistematik, b) Keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui
latihan lama dan teliti, c) Pelayanan/asuhan kepada yang memerlukan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan
berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi.
Keperawatan sebagai bentuk pelayanan profesional.
Lokakarya
keperawatan pada tahun 1983 yang merupakan titik tolak diterimanya
profesionalisme keperawatan di Indonesia mendefinisikan keperawatan
sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan keperawatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri.
Pada
hakekatnya keperawatan adalah suatu profesi yang mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan, artinya profesi keperawatan lebih mendahulukan
kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan sendiri. Pelayanan
keperawatan merupakan bentuk pelayanan yang bersifat humanistic dengan menggunakan pendekatan holistic, berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang mengacu pada standar pelayanan keperawatan serta menggunakan kode etik keperawatan sebagai tuntunan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan.
Keperawatan
sebagai profesi bermakna bahwa sebagai suatu kumpulan pekerjaan yang
selanjutnya membangun set norma yang sangat khusus, yang berasa dari
perannya di masyarakat ( Edgar H.Schein,1962 dalam Ma’rifin, 1993) yang selanjutnya oleh Hughes,E.C.(1993) lebih mempertegas bahwa profesi menyatakan (profess) yang bermakna ia mengetahui lebih baik tentang sesuatu hal dari orang lain, serta mengetahui lebih baik dari kliennya tentang apa yang diderita atau terjadi pada kliennya..
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keperawatan
sebagai profesi menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi
keperawatan dan hal ini diperoleh melalui berbagai jenjang pendidikan
pendidikan dibidang keperawatan. pengusaan ilmu pengetahuan dan
tehnologi keperawatan akan dimplementasikan dalam praktek keperawatan
dengan tetap berpedoman pada standar praktek yang ditetapkan serta senantiasa memperhatikan norma-norma etika profesi.
Mal praktek.
Pada
masa yang akan datang dimana kesadaran hukum masyarakat semakin
meningkat dimana masyarakat akan lebih menyadari akan haknya, dan disisi
lain perawat dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya
dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Hal ini didukung
adanya berbagai produk peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang sistem pelayanan keperawatan yang semakin jelas menuntut tenaga
keperawatan bekerja secara profesional, dan bila terjadi pelanggaran
akan berdampak negatif bagi kliennya, maka perawat diperhadapkan pada tuntutan atau gugatan konsumen sebagaimana antara lain pada UU No.8/1999 pada : Pasal 8 :
(1) pada
point (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan dan terhadap pelanggaran
pada pasal ini maka sanksi hukumnya sebagaimana dinyatakan pada
(2) pasal 62 ayat (1) yaitu dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Hal sarupa Juga ditegaskan pada UU No.23/1992 pada pasal 53 ayat 2 dan 3, pasal 54 ayat 1 dan 2, pasal 55 ayat 1 dan 2, sebagaimana berikut ini.
Pasal 53 :
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3). Tenaga
kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis
terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
Pasal 54 :
(1).
Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan
ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Pasal 55 :
(1). Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Malpraktek
yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap kaidah-kaidah profesi,
dimasa yang akan datang merupakan masalah yang cukup menarik untuk
didiskusikan khususnya yang terkait dengan malpraktek bidang
keperawatan, yang selama ini kurang mendapat perhatian misalnya
untuk menangani masalah yang terkait dengan pelanggaran etika bidang
keperawatan , PPNI baru membentuk suatu badan yaitu Majelis Kode Etik Keperawatan ( Anggaran Dasar PPNI Bab VIII)
pada tanggal 25 Januari 2002 dimana badan ini berkewenangan menyelidiki
dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran etik
profesi keperawatan sebagaimana pada Anggaran Dasar PPNI pada Pasal
27 yang berbunyi “Majelis Kode Etik berkewenangan menyelidiki dan
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran etik profesi
keperawatan”.
Pengertian.
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 (Guwandi, 1994) mendefinisikan Malpraktik
adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menterapkan
tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan
pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan
dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan
wilayah yang sama (Malpractice is the neglect of a physician or
nuse to apply that degree of skil and learning on treating and nursing a
patient which is customarily applied in treating and caring for the
sick or wounded similiarly in the same community).
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan
bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian
(negligence) yang ditujukan kepada seseorang yang telah terlatih atau
berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang
tugas/pekejaannya. Terhadap malpraktek dalam keperawatan maka malpraktik
adalah suatu batasan yang dugunakan untuk menggambarkan kelalaian
perawat dalam melakukan kewajibannya.
Ada
dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitan
malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah
melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan berisko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Menurut Hanafiah dan Amir (1999) mengatakan bahwa kelalaian
adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau
sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak
akan melakukannya dalam situasi tersebut.
Guwandi (1994) mengatakan
bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya
seorang yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan
tersebut , ia merupakan suatu tindakan yang seorang dengan hati-hati
yang wajar tidak akan melakukan di dalam keadaan yang sama atau
kegagalan untuk melakukan apa yang seorang lain dengan hati-hati yang
wajar justru akan melakukan di dalam keadaan yang sama.
Dari
pengertian di atas dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh,
sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat
yang ditimbulkan memang bukanlah menjadi tujuannya. Kelalaian bukanlah
suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya (Hanafiah & Amir, 1999).
Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan
bahkan merengut nyawa orang lain, maka ini dklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Malpraktek
tidaklah sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terksait
dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya dokter dan perawat) melakukan sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan dan pendidikan (Vestal,K.W, 1995). Hal ini bih dipertegas oleh Ellis & Hartley (1998) bahwa
malpraktik adalah suatu batasan spesifik dari kelalaian. Ini ditujukan
pada kelalaian yang dilakukan oleh yang telah terlatih secara khusus
atau seseorang yang berpendidikan yang ditampilkan dalam pekerjaannya.
Oleh karena itu batasan malpraktik ditujukan untuk menggambarkan kelaliaian oleh perawat dalam melakukan kewjibannya sebagai tenaga keperawatan.
Kelalaian
memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak
selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih luas daripada negligence.Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar Undang-undang. Didalam arti kesengajaan tersirat ada motifnya (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
- Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
- Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence)
- Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Malpraktik dalam keperawatan.
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan kelalaian atau malpraktik. Perawat dan masyarakat pada umumnya tidak
dapat membedakan antara kelalaian dan malpraktik. Walaupun secara nyata
jelas penbedaannya sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Malpraktik
lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang misalnya
perawat, dokter atau penasehat hukum.
Menurut Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik ,apabila penggugat dapat menunjukkan dibawah ini :
- Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibanya yaitu kewajiban untuk mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan stadar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukkan bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
- Breach of the duty--- pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.Pelanggaran yang terjadi terhadap pasien (misalnya kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
- Injury – Seseorang mengalami injury atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum (misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Keluhan nyeri, atau adanya penderitaan atau stress emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera hanya jika terkait dengan cedera fisik).
- Proximate caused—pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan/terkait dengan injury yang dialami (misalnya cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien).
Sebagai penggugat, harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu
dapat dibuktikan hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik,
dan perawat berada pada tuntutan malpraktik. Terhadap tuntutan
malpraktik , pelanggaran dapat bersifat pelanggaran :
- Pelanggaran etika profesi. Terhadap pelanggaran ini sepenuhnya oleh organisasi profesi ( Majelis Kode Etik Keperawatan) sebagaimana tercamtum pada pasal 26 dan 27 Anggaran Dasar PPNI. Sebagaimana halnya doter, maka perawat pun merupakan tenaga kesehatan yang preofesional yang menghadapi banyak masalah moral/etik sepanjang melaksanakan praktik profesional. Beberapa masalah etik yang sering terjadi pada tenaga keperawatan antara lain moral unpreparedness, moral blindness, amoralism, dan moral fanatism. Untuk menangani masalah etika yang terjadi pada tenaga keperawatan dilakukan organisasi profesi keperawatan (PPNI) melalui Majelis Kode Etik Keperawatan.
2. Sanksi administratif. Berdasarkan Keppres No.56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan(MDTK)
dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan objetif kepada
tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti
dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan MDTK akan
dilaporkan kepada pejabat kesehatan berwenang untuk mengambil tindakan
disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tindakan sebagaimana yang dimaksud
tidak mengurangi ketentuan pada : pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu : (1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2).
Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Keanggotaan MDTK
terdiri dari unsur Sarjana Hukum, ahli kesehatan yang diwakili
organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli psikologi, dan
ahli sosiologi. Organisasi ini berada baik di tingkat pusat, juga ditingkat Propinsi. Sejauh ini di Sulawesi Selatan belum terbentuk MDTK.
- Pelanggaran hukum. Pelanggaran dapat bersifat perdata maupun pidana. Pelanggaran yang bersifat perdata sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi:
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesdalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
Hal yang berhubungan dengan ganti rugi dapat bersifat negosiasi atau diselesaikan melalui pengadilan. Pelanggaran yang bersifat pidana sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada Bab X (Ketentuan Pidana) berupa pidana penjara dan atau pidana denda, atau sebagimana pada pasal 61 dan 62 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi :
Pasal 61 : Penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62 :
(1). Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
pasal 8, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
(2). Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(3).
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Bidang pekerjaan perawat yang berisiko melakukan kesalahan :
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area dimana perawat berisiko melakukan kesalahan yaitu Pada tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), Perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
- Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data/informasi tentang pasien secara adekuat, atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan menetapkan diagnosa keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan dalam kesalahan/ketidaktepatan dalam tindakan.
Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan mendasar.
- Planning errors, termasuk :
- Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskan dalan rencana keperawatan.
- Kegagalan mengkomunikasikan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat (misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan dimana perawat yang lain tidak memahami dengan pasti).
- Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
- Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
Untuk
mencegah kesalahan tersebut diatas, jangan hanya megira-ngira dalam
membuat rencana keperawatan tanpa dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
Seharusnya dalam menulisan harus dengan pertimbangan yang jelas dengan
berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu,
lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana
harus realistik, berdasarkan standar yang telah ditetapkan termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Bekerja
berdasarkan rencana dan dilakukan secara hati-hati instruksi yang ada.
Setiap pendapatnya perlu divalidasi dengan teliti.
- Intervention errors, termasuk kegagalan menginterpretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/perintah dari dokter atau dari supervisor. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca perintah/order, mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya nampaknya pada tindakan pemberian obat, oleh karena itu perlunya komunikasi baik diantara anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education).
Beberapa contoh kesalahan perawat :
- Pada pasien usia lanjut, pasien mengalami disorientasi pada saat berada diruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memonitoring dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai.
- Pada pasien dengan pasca bedah disarankan untuk melakukan ambulasi. Perawat secara drastis menganjurkan pasien melakukan mobilisasi berjalan, pada hal disaat itu pasien mengalami demam, denyut nadi cepat, dan mengeluh nyeri abdomen. Perawat melakukan ambulasi pada pasien sesuai rencana keperawatan yang telah dibuat tanpa mengkaji terlebih dahulu kondisi pasien. Pasien kemudian bangun dan berjalan, pasien mengeluh pusing dan jatuh sehingga pasien mengalami trauma kepala.
Bagaimana mencegah adanya tuntutan malpraktik :
Sangat
perlu bagi seorang perawat beru[aya melakukan sesuatu guna mencegah
terjadinya tuntutan malpraktik yaitu upaya mempertahankan standar
pelayanan/asuhan yaqng berkualitas tinggi. Hal ini dilakukan dalam
pekerjaan sebagai perawat yaitu meningkatkan kemampuan dalam praktik
keperaweatan dan menciptakan iklim yang dapat mendorong peningkatan
praktik keperawatan., yaitu :
- kesadaran diri (self-awareness):
Yaitu mengidentifikasi dan memahami pada diri sendiri tentang kekutan
dan kelamahan dalam praktik keperawatan. Bila terindentifikasi akan
kelemahan yang dimiliki maka berusahalah untuk mencari penyelesaiannya.
Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu melalui pendidikan, pengalaman
langsung, atau berdiskusi dengan teman sekerja/kolega. Apabila
berhubungan seorang supervisor, sebaiknya bersikap terbuka akan
kelemahannnya dan jangan menerima tanggung jawab dimana perawat yang bersangkutan belum siap untuk itu. Jangan menerima suatu jabatan atau pekerjaan kalau menurut kriteria yang ada tidak dapat dipenuhi.
- Beradaptasi terhadap tugas yang diemban
Tenaga
keperawatan yang diberika tugas pada suatu unit perawatan dimana dia
merasa kurang berpengalaman dalam merawat pasien yang ada di unit
tersebut, maka sebaiknya perawat perlu mengikuti program
orientasi/program adaptasi di unit tersebut. Perawat perlu
berkonsultasio dengan perawat senior yang aa diunit terbut
- Mengikuti kebijakan dan prosedur yang ditetapkan
Seorangmperawat
dalam melaksanakan tugasnya harus sealu mempertimbangkan kebijakan dan
prosedur yang berlaku di unit tersebut. Ikuti kebijakan dan prosedur
yang berlaku secara cermat, misalnya kebijakan/prosedur yang berhubungan
dengan pemberian obat pada pasien.
- Mengevaluasi kebijakan dan prosedur yang berlaku
Ilmu
pengetahuan dan tehnologi keperawatan bersifat dinamis artinya
berkembang secara terus menerus. Dalam perkembangannya, kemungkinan
kebijakan dan prosedur yang ada diperlukan guna menyesuaikan dengan
perkembangan yang terjadi. Oleh krena itu itu ada kebutuhan untuk
menyeuaikan kebijakan dan proseudr atau protokol tertentu. Untuk itu
merupakan tanggung jawab perawat profesional bekerja guna mempertahankan
mutu pelayanan sesuai dengan tuntutan perkembangan.
- Pendokumentasian
Pencatatan perawat dapat dikatakan sesuatu yang unit dalam tatanan pelayanan kesehatan, karena kegiatan ini dilakukan selama 24 jam. Aspa yang dicatat oleh perawat merupakan faktor yang
krusial guna menghindari suatu tuntutan. Dokumentasi dalam suatu
pencatatan adalah laporan tentang pengamatan yang dilakukan, keputusan
yang diambil, kegiatan yang dilakukan, dan penilaian terhadap respon
pasien.
Oleh
karena setiap kasus ditentukan adanya fakta yang mednkung suatu
tuntutan, maka diperlukan pencatatan yang jelas dan relevan. Pencatatan diperlukan secara jelas, benar, dan jelas sehingga dapat dipahami.
Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktik, sebagai berikut :
- Berikan kasih sayang kepada pasien sebagaimana anda mengasihi diri sendiri. Layani pasien dan keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat.
- Gunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakan pengkajian dengan benar.
- Utamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kurang merespon terhadap perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama dengan tim keperawatan guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
- Tanyakan saran/order yang diberikan oleh dokter jika : Perintah tidak jelas,masalah itu ditanyakan oleh pasien atau pasien menolak, tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan dari kondisi kesehatan pasien. Terima perintah dengan jelas dan tertulis.
- Tingkatkan kemampuan anda secara terus menerus, sehingga pengetahuan/kemampuan yang dimiliki senantiasa up-to-date. Ikuti perkemangan yang terbaru yang terjadi di lapangan pekerjaan dan bekerjalah berdasarkan pedoman yang berlaku.
- Jangan melakukan tindakan dimana tindakan itu belum anda kuasai.
- Laksanakan asuhan keperawatan berdasarkan model proses keperawatan. Hindari kekurang hati-hatian dalam memberikan asuhan keperawatan.
- Catatlah rencana keperawatan dan respon pasien selama dalam asuhan keperawatan. Nyatakanlah secara jelas dan lengkap. Catatlah sesegera mungkin fakta yang anda observasi secara jelas.
- Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi/rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
- Pelimpahan tugas secara bijaksana, dan ketahui lingkup tugas masing-masing. Jangan pernah menerima atau meminta orang lain menerima tanggung jawab yang tidak dapat anda tangani.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh profesi keperawatan di Indonesia.
Wawasan
ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, melalui pengkajian mendasar
tentang hal-hal yang melatarbelakanginya, serta mempelajari berbagai
bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar tersebut, melalui
pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang garapan dan
fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah penyimpangan
atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
(bio-psiko-sosio-spiritual), mulai dari tingkat individu utuh, mencakup
seluruh siklus kehidupan, sampai pada tingkat masyarakat, yang juga
tercermin pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pada tingkat sistem
organ fungsional sampai subseluler. Perawat diperhadapkan pada suatu
situasi guna mengidentifikasi sejauhmana kebutuhan dasar seseorang tidak
terpenuhi dan berbagai upaya membantu klien dalam memenuhi kebutuhan
dasar. Hal ini dilakukan dalam proses interaksi perawat-klien. Oleh
karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia
adalah mahluk hidup yang sampai saat ini masih banyak dari aspek manusia
belum terungkap melalui ilmu pengetahuan dan ini berarti pula perawat
senantiasa diperhadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan
risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan
profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan
memuaskan.
Sebagaimana
dikemukakan bahwa keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional
yang didasarkan atas ilmu dan kiat keperawatan. hal ini bermakna bahwa
pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat dimungkinkan bila
tenaga keperawatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan
keperawatan adalah juga tenaga keperawatan yang profesional yang
ditandai dengan memiliki pengetahuan yang mendalam dan sistematik,
ketrampilan tehnis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan
teliti, serta pelayanan/asuhan kepada yang memerlukan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan tehnis tersebut dengan berpedoman pada
filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi. Di Indonesia,
katagori pendidikan yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional
adalah diperoleh dari jenjang pendidikan tinggi yang pada saat ini
adalah Akademi keperawatan (jenjang Diploma III) dan program pendidikan
sarjana keperawatan/Ners.
Pada kenyataannya, masih sebagian besar tenaga keperawatan lulusan SPK (setingkat SMU) yaitu sebanyak 85 % ( Sulaeman, M, Dr., 2000)
yang secara formal belum memiliki kemampuan profesional sehingga
ditinjau dari aspek hukum belum mampu untuk mempertanggung jawabkan
setiap tindakan. Pada situasi dimana terjadi kesalahan yang dilakukan
oleh tenaga non profesional, amka perlu dilakukan pelimpahan tanggung
jawab kepada atasannya. Dengan jumlah tenaga keperawatan non profesional
yang lebih mendominasi asuhan keperawatan di tatanan pelayanan
khususnya di rumah sakit belum dapat dilaksanakan secara baik sehingga
menyebabkan pelayanan keperawatan yang sesduai dengan standar dan etika
profesi belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, walaupun beberapa peraturan
perundang-undangan telah mengatur .
Undang-undang
No.23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap
tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada pasal 32
ayat (4), pasal 53 ayat (1) dan ayat (2).
Selanjutnya pada ayat (4) menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar
profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini peraturan tentang standar profesi belum ada. Dengan demikian standar praktik keperawatan yang di sebagian rumah sakit hanya bersifat mengikat kedalam, tetapi keluar yaitu secara
hukum belum dapat dipertanggung jawabkan (karena akan ditetapkan dalam
Peraturan pemerintah). Sehingga tenaga keperawatan yang saat ini bekerja
di tatanan pelayanan tidak memiliki standar baku sebagai pedoman dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Hal ini berdampak pada rendahnya mutu
pelayanan keperawatan dan berisiko terjadinya malpraktik.
Banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh organisasi
profesi (misalnya Majelis Kode Etik Keperawatan) yang kadang-kadang
bukanlah merupakan pelanggaran hukum (perdata/pidana) tetapi hanya
merupakan perlanggaran etik profesi semata. Tidak adanya penanganan dari
profesi keperawatan karena sampai saat ini belum ada badan yang dibetuk
oleh organisasi profesi keperawatan. sebagaimana yang telah diatur
dalam AD/ART PPNI (Majelis Kode Etik Keperawatan tingkat Pusat baru
dibentuk pada tanggal 26 Januari 2002, bagaimana dengan Majelis Kode
Etik Keperawatan di tingkat propinsi ?). Dimana Majelis Kode etik
Keperawatan inilah yang bertanggung jawab menangani masalah tersebut.
Kode
etik keperawatan sebagai norma moral yang mengandung nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh setiap tenaga keperawatan dalam memberikan
pelayanan keperawatan kepada kliennya. Sebagai suatu profesi, PPNI
memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS
PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No.09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia. Patut
dipertanyakan apakah semua perawat di Indonesia mengetahui adanya kode
etik keperawatan yang akan dipedomani dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Mungkin masih sebagian besar dari perawat di Indonesia belum
mengetahui adanya kode etik yang dimaksud, apalagi anggota masyarakat
lainnya yang perlu pula mengetahui norma moral apa yang diyakini oleh
perawat dalam memberikan pelayanan terhadap dirinya. Karena dengan
jaminan nilai-nilai luhur ini maka setiap orang akan dengan suka rela menerima uluran tangan perawat.
Sanksi administratif/tindakan disiplin yang diberikan kepada tenaga kesehatan termasuk tenaga keperawatan karena dianggap
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi
dalam memberikan pelayanan kesehatan diberikan oleh pejabat yang
berwewenang (organisasi dimana tenaga keperawatan bekerja) atas dasar pertimbangan yang diajukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK). Majelis ini dibentuk dengan Keppres
No.56 Tahun 1995, yang terdiri dari MDTK Tingkat Pusat dan MDTK Tingkat
Propinsi. Sepengetahuan penulis, sampai saat ini MDTK Tingkat
Propinsi belum terbentuk. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana sebuah rumah
sakit memberikan tindakan disiplin pada tenaga kesehatan yang bekerja
di lingkungan rumah sakit tanpa terlebih dahulu kasus pelanggaran
tersebut ditangani oleh MDTK Tingkat propinsi. Apabila persoalan
diserahkan pada Tingkat Pusat, apakah tidak terjadi keterlambatan dalam
pengambilan keputusan ?. Pada kondisi ini nampaknya tenaga kesehatan
berada pada posisi yang lemah/dirugikan. Pertanyaan lain yang dapat
diajukan adalah ditingkat organisasi profesi keperawatan dikenal adanya
Majelis Kode Etik Keperawatan , bagaimana hubungan kerjanya?. Untuk
adanya kepastian dalam pengambilan keputusan diperlukan kejelasan baik
dalam tata hubungan, lingkup tanggung jawab dan kegiatannya pada
masing-masing organisasi yang dibentuk yang memiliki kemiripan dalam
arah/sasaran dan tujuan serta lingkup kegiatannya.
Organisasi
profesi bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap anggotanya guna
mempertahankan kualitas pelayanan yang diberikan anggotanya dan
terhindar dari perbuatan yang tercelah (criminal malpractice) atau
pelanggaran lainnya. Demikian pula dengan PPNI sebagai organisasi
profesi keperawatan bertanggung jawab terhadap pembinaan anggota agar
semakin berkualitas dalam memberikan pelayanan. Disadari saat ini bahwa
PPNI terutama di tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota belum berperan
sebagaimana layaknya sebagai organisasi profesi. Keberadaan PPNI di
daerah tidak dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam mempertahankan
kemampuan profesional anggotanya. Hal ini kadang-kadang dipertanyakan
oleh para anggotanya”Apa yang saya peroleh dari organisasi, walaupun
kewajiban saya telah saya penuhi untuk organisasi” ?. PPNI yang ada di
daerah hanyalah sekedar memenuhi AD/ART PPNI,
tetapi kegiatan yang mengarah pada pembinaan anggota kurang mendapat
perhatian. Tanpa pembinaan, akan sangat berisiko melakukan malpraktik.
Demikian pula dengan terjadinya kasus yang dianggap merupakan
pelanggaran yang berlalu begitu saja tanpa turun tangan dari pihak
organisasi PPNI, yang kadang-kadang kasusnya menyeret tenaga keperawatan untuk berhubungan dengan Polisi/Jaksa/pengadilan.
Dalam
suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan dari suatu kasus
diperlukan keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan membuat terang
suatu perkara (Soerodibroto, S.,2001). Yang menjadi pertanyaan
adalah siapa yang melakukan tindak pidana (perawat profesional kah atau
non profesional). Saksi ahli yang dimaksud yang akan memberikan
keterangan adalah yang dianggap ahli dalam bidang keperawatan (menguasai
ilmu keperawatan). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tenaga
keperawatan profesional (ahli) hanya terdapat 15 % dari seluruh tenaga
keperawatan yang ada, yang tersebar diseluruh pelosok tanah air. Tenaga
ini lebih banyak terkonsentrasi dikota-kota besar dan tidak
terdistribusi secara merata. Kelangkaan tenaga ahli yang akan berperan
sebagai saksi ahli dalam suatu perkara pidana, akan mengakibatkan tenaga
perawat tetap berada pada posisi yang lemah.
Pendidikan
tenaga keperawatan terutama Program Pendidikan D III Keperawatan saat
ini di Indonesia sebanyak 293 yang terdiri dari 58 milik Depkes dan 235
milik Daerah/TNI/POLRI/Swasta (Ake, J., 2000). Penyelenggaraan
pendidikan tidak didukung sumber daya yang memadai. Terbatasnya jumlah
dan kualitas tenaga pendidikan, terbatasnya sarana dan prasarana
pendidikan, dan terbatasnya lahan praktik sebagai model pelayanan
keperawatan profesional akan mengakibatkan mutu lulusan tidak
berkualitas. Dengan demikian ijasah menjadi bukan jaminan profesional
seseorang, sehingga bagi tenaga ini akan sangat berisiko untuk melakukan
malpraktik karena mereka diberi tanggung jawab dan dipercaya sebagai
tenaga profesional walaupun tidak didukung oleh kemampuan yang memadai
sebagai tenaga keperawatan yang profesional.
Sebagian
besar waktu perawat dalam tatanan pelayanan khususnya di rumah sakit
adalah mengerjakan pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan tugas
pokoknya sebagai perawat. Banyak tindakan-tindakan medik yang harus
dikerjakan oleh perawat antara lain tindakan invasif, dimana tindakan
ini dapat berdampak menimbulkan cedera/injury, kecacatan seumur hidup
atau kematian misalnya kesalahan perawat dalam memberikan obat pada
pasien. Perawat harus mengerjakan tindakan medik karena keterbatasan
tenaga dokter terutama di puskesmas/puskesmas Pembantu. Risiko melakukan
kesalahan sangat besar karena perawat tidak siap melakukan tidakan
tersebut dengan tepat sesuai prosedur yang berlaku. Mereka hanya
diperkaya oleh pengalaman yang diperoleh dilingkungan kerjanya dari
sesama perawat dan tidak didukung oleh latar belakang pengetahuan yang
memadai. Untuk tindakan medik apabila diperlukan untuk didelegasikan
kepada perawat sebaiknya dilakukan secara tertulis (standing order).
Saat ini telah tersusun Algoritma klinik
(clinical Algorithm) bagi perawat dan bidan di puskesmas yang disusun
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan PPNI bekerjasama dengan Depkes
& Kessos RR. Algoritma klinik ini dibuat atas dasar Surat
Edaran PB IDI Nomor : 380/PB/E.1/05/2001 perihal Persetujuan pelimpahan
wewenang prosedur tindakan medik terbatas bagi perawat dan bidan di
Puskesmas. Hal semacam ini diperlukan pula bagi
perawat dan bidan yang bekerja di rumah sakit, yang sampai saat ini
belum ada sebagaimana di puskesmas. Algoritma klinik perlu diikuti
pelatihan bagi perawat dan bidan dalam mengimplementasikan kegiatan
tersebut. Kalau hal ini berlaku, dan ternyata dalam pelaksanaannya
perawat atau bidan melakukan kesalahan, siapa yang akan bertanggung
jawab ?. Apakah cukup perawat saja yang telah melakukan kesalahan,
ataukah dokter yang memberikan pelimpahan. Dan bila dokter, siapa yang
dimaksudkan apakah dokter yang ada di puskesmas ?. Pertanyaan ini perlu
terjawab agar dikemudian hari tidak saling melempar tanggung jawab, yang
akan menyebabkan masalah menjadi berlarut-larut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas menjadi jelas bahwa masalah malpraktik bersifat
sangat kompleks karena berbagai faktor yang terkait didalamnya. Sebagai
perawat profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuannya
dengan mengikuti perkembangan yang terjadi baik oleh karena perkembangan
IPTEK khususnya IPTEK keperawatan, tuntutan dan kebutuhan masyarakat
yang semakin meningkat.
Saat
ini perawat diperhadapkan pada berbagai tuntutan pelayanan profesional
melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang apabila
melakukan kesalahan dan kelalaian akan diperhadapkan pada suatu tuntutan
baik dari organisasi profesi, organisasi pelayanan kesehatan, dan
tututan hukum.
Perawat
di Indonesia sangat berisiko melakukan malpraktik karena tidak didukung
oleh kemampuan yang memadai (profesional dalam bidangnya), banyak
mengerjakan tindakan kolaboratif/tindakan invasif yang mungkin bukan
bidang pekerjaannya sebagai layaknya seorang perawat profesional.
Sehingga untuk masalah ini diperlukan pembinaan dari semua pihak yang
terkait.
Organisasi
profesi sebagai wadah para anggotanya bertanggung jawab untuk
meningkatkan mutu tenaga keperawatan sebagai konsekuensi perannya
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan kesejahteraan
anggotanya. Operasionalisasi kegiatan organisasi PPNI terjadi disemua
tingkat organisasi baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan
Komisariat
Instituasi pendidikan sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional bertanggung
jawab menyelenggarakan pendidikan secara berkualitas dengan cara
mengembangkan dan mengorganisasikan kurikulum nasional kedalam kurikulum
institusi, menyediakan segala sumber daya yang dapat mendukung
sepenuhnya kegiatan pendidikan. Demikian pula perlu didukung tersedianya
lahan praktik yang memungkinkan mengimplementasikan teori-teori kedalam
situasi nyata, serta berbagai kebijakan yang mendukung.
BAHAN RUJUKAN
Ake, J.,(2000), Sistem ketenagaan dalam mengembangkan sistem pemberian pelayanan keperawatan, Jakarta (tidak diterbitkan).
Depkes RI (1992), Undang-Undang Republik Indonesia nomor : 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, Jakarta : Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Setjen Depkes RI.
Ellis & Hartley (1998), Nursing in today’s world, (6th.ed), Philadelphia : Lippincott.
Guwandi, J. (1994), Kelalaian Medik (medical negligence), (2nd.ed), Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Hanafiah dan Amir (1999), Etika kedokteran dan hukum kesehatan, (3rd.ed), jakarta : EGC
IDI dan PPNI (2001), Algoritma Klinik (clinical algorithm) bagi perawat dan bidan di Puskesmas.
Leahy & Kizilay (1998), Foundations of nursing practice ; A nursing process approach, Philadelphia ; W.B.Saunders Company.
Megan & Johnstone (1989), Bio ethics : A nursing perspective, Sydney : W.B. Saunders.
PB IDI (2001), Surat Edaran Nomor 380/PB/E.1/05/2001 perihal Persetujuan pelimpahan wewenang prosedur tindakan medik terbatas bagi perawat dan bidan di Puskesmas.
PP PPNI (2000), Musyawarah nasional VI Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Bandung 12-15 April 2000 (tidak diterbitkan).
PPKC (2000), Pelatihan : Duty manager keperawatan, Jakarta (tidak diterbitkan).
Syawali dan Imaniyati (2000), Hukum perlindungan konsumen, Bandung : CV Mandar Maju.
Ma’rifin Husin (2002), Pendidikan keperawatan di masa depan ; Disampaikan pada rapat kerja nasional PPNI, lawang 26 januari 2002 (tidak diterbitkan).
………... (1993) Pendidikan tinggi keperawatan ; Disampaikan pada pelatihan kurikulum materi GKBN pada program pendidikan D III Keperawatan di Indonesia, jakarta (tidak diterbitkan).
Soerodibroto, S., (2001), KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi mahkamah Agung dan Hoge Raad, (4th.ed), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sulaeman, M. Dr. (2000), Pola pelayanan keperawatan dalam menghadapi desentralisasi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, Direktorat pelayanan keperawatan Ditjen Yanmedik Depkes RI (tidak diterbitkan).
Wijono (1999), Manajemen mutu pelayanan kesehatan, Surabaya : Airlangga university Press.
Vestal, K.W. (1995), Nursing Management : Concepts and issues, (2nd.ed), Philadelphia : J.B.Lippincott Company.
No comments:
Post a Comment