Monday, November 19, 2012

KTI TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG DAMPAK SEKS PRANIKAH TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI

KTI TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG DAMPAK SEKS PRANIKAH TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI DI .........

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Batasan remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN adalah 10 samapi 19 tahun.Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah suatu priode masa pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas. Masa remaja adalah priode peralihan dari masa anak-anak ke dewasa (Widyastuti, 2010).
Data kesehatan remaja, Amerika Serikat tahun 1997, menampilkan gambaran yang menakjubkan. Jumlah remaja usia (15-19 tahun) yang mengalami kehamilan mencapai 840.000 atau 79% dari seluruh kehamilan. Proporsi hubungan seksual (40%) dan kehamilan remaja yang tidak diinginkan (19%) terlihat tinggi. Sekitar 13% persalinan berasal dari remaja putri dan sekitrar (31%) diantaranya tanpa pernikahan. Di indonesia fertilitas dikalangan remaja yang mempunyai anak sebelum mencapai usia 20 tahun (10%) terlihat cukup tinggi. Persalinan pada usia remaja (11%) dan 43 % diantaranya melahirkan anak pertama periode kurang 9 bulan dari pernikahan mereka. Remaja putri terbukti melakukan hubungan seksual (30%) yang berakibat kehamilan yang tidak terencana (57%) dan diselesaikan dengan aborsi (40%) (Kodim, 2008).

Statistik di dunia menunjukkan antara 1/3-2/3 korban perkosaan di seluruh dunia berumur antara 15 tahun atau kurang. Tiap tahun 15 juta anak remaja berumur 15 sampai 19 tahun melahirkan. Ini 1/5 dari jumlah kelahiran di dunia. Di negara berkembang, rata-rata 40% dari perempuan yang melahirkan sebelum berumur 20 tahun, antara 8% persen di Asia Timur dan 56% dari Afrika. Di negara maju, hanya sekisar 10% dari anak remaja melahirkan. Tiap tahun 1 juta sampai 4,4 juta anak remaja di negara berkembang mengalami pengguguran dan kebayakan prosedur dilakukan di bawah kondisi-kondisi yang tidak aman (Sarwono, 2005).
Hasil survai di 12 kota dan di kota Medan menunjukkan perkiraan angka sekitar 5.5-11% remaja melakukan hubungan seksual sebelum usia 19 tahun, sedangkan usia 15-24 tahun adalah 14.7-30%. Apabila dari jumlah 42.3 juta remaja di tahun 2000 terdapat 10% dari mereka telah menyatakan dirinya aktif seksual, maka ada 4,3 juta remaja yang menghadapi berbagai risiko kesehatan reproduksi(Asfriyanti, 2005).
Kesehatan Reproduksi Remaja (KKRI) 2002-2003 menunjukkan 21% perempuan dan 28 laki-laki tidak mengetahui tanda perubahan fisik apapun dari lawan jenisnya. Kurangnya pengetahuan tentang biologi dasar pada remaja mencerminkan kurangnya pengetahuan tentang reiko yang berhubungan dengan tubuh mereka dan cara menghindarinya. Demikian juga halnya dengan pengetahuan mereka tentang masa subur dan resiko kehamilan. Hanya 29% perempuan dan 32 laki-laki menjawab benar bahwa seorang perempuan mempunyai kemungkinan besar menjadi hamil pada siklus priode haid. Secara umum, pengetahuan perempuan tentang resiko menjadi hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seksual lebih tinggi (50%) di bandingkan dengan laki-laki yaitu 46% (Pinem, 2010). 
Remaja berada dalam situasi yang sangat peka terhadap pengaruh nilai baru, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai daya tangkal. Mereka cendrung lebih mudah melakukan penyesuaian dengan arus globalisasi dan arus informasi yang bebas yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan prilaku menyimpang. Salah satu penyebab prilaku menyimpang adalah adaptasi terhadap nilai-nilai yang datang dari luar (Pinem,2009).
Ada beberapa faktor yang mendorong anak remaja usia sekolah SMP dan SMA melakukan prilaku menyimpang seperti hubungan seks di luar nikah. Faktor-faktor tersebut di antaranya pengaruh liberalisme atau pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan dan keluarga yang mendukung ke arah perilaku tersebut serta pengaruh perkembangan media massa. Oleh karena itu, dengan adanya perilaku seperti itu, para remaja tersebut sangat rentan terhadap resiko kesehatan seperti penularan penyakit HIV/AIDS, penggunaan narkoba serta penyakit lainnya (Muadz, 2009).
Selain itu ada beberapa faktor yang memepengaruhi remaja melakukan seks diluar nikah yaitu, tekanan yang datang dari pergaulan temannya, adanya tekanan dari pacarnya, adanya kebutuhan badanniah, rasa penasaran dan pelampiasan sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seks (Dianawati, 2006).
Penyebab utama kematian pada perempuan berumur 15-19 tahun adalah komplikasi kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran. Penduduk muda usia 15 sampai 24 tahun menderita PMS paling tinggi, termasuk infeksi HIV (Sarwono, 2005).
Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda dan Berganti-ganti pasangan seksual merupakan faktor meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks. Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uterus merupakan kanker pembunuh perempuan nomor dua di dunia setelah kanker  payudara. Di Indonesia, kanker leher rahim bahkan menduduki peringkat pertama. Kanker serviks yang sudah memasuki stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka relatif cepat (Anonim, 2010).
Tahun 2002-2003 yang meneliti tentang kesehatan reproduksi jumlah remaja (15-24) tahun dan mencakup 20% penduduk Indonesia. Dari waktu ke waktu, mobilitas remaja Indonesia yang meningkat pesat, arus informasi yang sangat kuat, dan semakin bertambahnya remaja yang berperilaku berisiko tinggi ikut meningkatkan kasus penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual.
Menurut laporan Sekertaris Jendral pada sesi khusus majelis umum PBB mengenai HIV/AIDS bahwa tiap hari ada 6000 remaja yang terinfeksi HIV. Sebagian besar mereka tidak memliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, informasi yang benar. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan kurangnya informasi yang membahas khusus tentang kesehatan reproduksi remaja menjadi masalah yang sampai saat ini mendukung tingginya angka kejadian infeksi HIV/AIDS.
Tidak tersedinaya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja untuk mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang. Majalah, buku, dan film fornografis yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus di sandang dan resiko yang harus di hadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap pelajaran seks dari internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3% , dan sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi. Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun(Asfriyati, 2005)
Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai: “Tingkat  Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dampak Seks Pranikah Terhadap Kesehatan Reproduksi Di SMA.
Description: KTI TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG DAMPAK SEKS PRANIKAH TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: KTI TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG DAMPAK SEKS PRANIKAH TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI

No comments:

Post a Comment